Jadi dokter di rumah sakit, anak mami !.

13 November 2008

Oleh Mulyadi Muchtiar | 1:10 PM |

Terus terang pada awalnya, ketika masih mahasiswa pandangan saya dokter-dokter umum yang berdinas di rumah sakit itu adalah anak mami. Mereka nggak mau terjun ke masyarakat, menghadapi problem yang ada pada tingkatan bawah.
Ketika di tugasin di RSUD Lombok Timur, awalnya saya berontak. Ngapain jauh-jauh saya kesini hanya untuk kerja di sebuah rumah sakit. Padahal request-an saya ke Depkes ingin di Puskesmas daerah sangat terpencil. Tapi kekalutan hati saya terhibur ketika Kadinkesnya menyatakan ini hanya proses transisi 6 bulan sebelum ke Puskesmas, sehingga kamu lebih siap terjun ke Masyarakat.
OK deh, saya lakonin. Saya di tugasin di bahagian bedah dan sesuai giliran jadi dokter jaga UGD yang ngurusin 100 pasien kala jam kerja rumah sakit sudah tutup.
Bulan pertama, saya sudah di hadapi dengan kasus-kasus yang komplek. Daerah ini banyak sekali kejadian tabrakan, luka bacok akibat perampokan karena sapinya di jarah garong, sehingga tidak jarang pasien yang datang dengan paru-paru terburai, atau multiple fraktur akibat ngebut di jalan raya.
Wah ini tantangan bagi saya, saya dapat implementasikan ilmu teoritis yang di dapat dari bangku kuliah; saya bisa pasang WSD, saya bisa lakukan back slap atau circuler gips. Atau ketika lagi jaga UGD, semua pasien hamil harus bisa di handle malam itu, mulai dari partus normal, belajar kembali vacum dan forcep. Mulai dari tangan gemetaran dan keringat dingin sampai saya "mahir" melakukan sebagai dokter jaga.
Suatu hari saya menemukan pasien lelaki muda dengan batu buli, nggak bisa kencing, atau kencing sudah kesakitan. Ketika hasil rontgen keluar kelihatanlah penampang batu dengan diameter 3 cm itu menutupi OUI, wah harus di sectio Alta nih. Berarti saya harus rujuk ke RSU propinsi. Ini kan elektif nggak ada alasan sebagai dokter umum saya melakukanya. Sesudah pasang kateter, saya bilanglah sama dia; "Miq(bapak) sampean saya rujuk ke ibu Kota propinsi, karena saya nggak mampu lakukan di sini, karena dokter bedah nggak ada" " Pak dotor, biar tiang (saya) mati disini dari pada tiang di kirim ke propinsi" Hah matilah aku masak aku harus ngerjain ini, kalau berhasil ya Allhamdulillah. Kalau gagal habislah awak jadi dokter di kampung orang, belum terbayang infeksi dan sebagainya.
Dalam kekalutan itu, pak Rusnan perawat senior di OK menemuin saya, baca bismillah saja dok, Insya Allah saya akan dampingi dokter kerja katanya. Semalaman saya bimbang melakukan operasi apa mundur. Saya buka buku bedah yang mungkin halamannya nggak pernah saya baca waktu kuliah. Saya tahajut, apakah saya hanya akan jadi anak mami di rumah sakit, bukankah kamu sekarang sudah jago curretage, vacum,f orcep, pasang gips dll, kenapa nggak ditolong orang ini. Bismillah, saya telpon perawat di ruangan, tolong disiapin si Mamiq besok pagi saya akan operasi.
Jam 8 pagi pak Rusnan sudah menunggu saya; Insya Allah dokter, jangan ragu. Ilmu pertama yang di ajarin pak Rusan, untuk identifikasi vesika, maka isilah vesika itu sehingga blast nya menonjol, sehingga ketika melakukan incisi kita tidak akan melukai daerah abdomen. Incisi melintang, buka secara tumpul lapis demi lapis setelah fascia terlihat. Incisi tajam baru akan dilakukan lagi setelah vesika kelihatan jelas, dan pembuluh darah besar sudah terikat. Akhirnya dengan keringat bercucuran walaupun ruangan itu dingin, saya bisa menyelesaikan operasi selama 1,5 jam.
Sejak saat itu, saya mulai berani melakuka sectio alta yang lain, karena kasus batu buli nya cukup banyak, barangkali karena daerahnya banyak batu karang, curah hujan yang rendah, dan kebiasaan masyarakat yang senang minum air hidup (minum air mentah langsung dari ember,di sumur). Terakhir malah saya sudah bisa nyelesaiin 30 menit, satu pasien.
Ketika 6 bulan tiba, dan saya dikasih option mau pindah ke puskesmas, atau tetap di rumah sakit. Saya memilih biar saya tetap dirumah sakit, ternyata jadi dokter di rumah sakit bukan berarti saya jadi anak mami, malah bisa banyak belajar dari pasien kita yang menjadikan dirinya sebagai objek dan guru dalam memperlajari suatu penyakit.

Recent Readers

Followers